Bayangan Memasak Dalam Pernikahan

Kali ini saya ingin menuangkan sedikit persepsi yang mungkin kurang populer pada khalayak umum. Bisa jadi ini suatu topik yang kerap menghantui, terlebih kamu dalam masa pertimbangan akan melangkah ke jenjang pernikahan. Perkara memasak dalam pernikahan. Mungkin terdengar begitu sepele ya, tapi ternyata ada teman saya yang merasa hal ini begitu besar dan penting dibicarakan karena jadi bayangan menakutkan. Saya mungkin merupakan sebagian besar orang yang tak terlalu mengkhawatirkan soal memasak kala sudah menikah, saat mendengarkan permasalahan ini jadi terkaget sendiri.

Berawal dari pertanyaan “Kamu menikmati memasak ya?” dari teman saya yang saat itu tengah mempersiapkan rencana pernikahannya. Bagi saya yang tengah menikmati benar bebas memasak dan bangga akan hasil masakan saya pun otomatis menjawab “Iya”. Namun sesaat kemudian saya tersadar ada segurat rasa khawatir yang muncul di wajahnya. Ia pun kembali memandangi gawai di depannya setelah mendengar jawaban saya, berusaha menghapus tanda khawatir yang sejenak menggelayuti wajahnya sedari tadi. Saat itu saya tersadar jika teman satu ini sedari tadi berusaha memilah kata untuk bertanya hal yang mengganggunya selama ini.

Melihat situasi ini, sejujurnya saya kaget, mengingat memasak bukan hal menakutkan selama beberapa tahun belakangan ini. Setelah cukup menelaah kekagetan, saya pun beranikan bertanya lebih lanjut, “Kamu takut kemampuan memasakmu saat menikah nanti?”. Tanpa basa-basi ia segera menjawab, “Iya, kamu tahu kan aku tak piawai memasak. Mana selera makanku sekarang ini western sedangkan dia Indonesia banget. Masak Indonesia kan susah.”

Dalam situasi waktu itu, saya berusaha memberikan pandangan sederhana jika memasak dalam pernikahan itu soal menerima dan beradaptasi juga. Jika ia merasa nyaman dengan masakan western yang lebih mudah resepnya maka tak perlu ragu untuk memperkenalkan dan membiasakan hal itu kepada pasangan. Ia juga tak boleh menutup kemungkinan untuk belajar satu atau dua resep makanan kesukaan pasangan. Namun untuk tahap awal, cukup buatlah makanan yang kamu sendiri nyaman untuk memasaknya.

Bagaimana dengan suami, bagaimana jika dia tidak suka dan senang dengan hasil masakan? Ada yang namanya makanan pesan antar, dia bisa mengambil opsi itu untuk menyelesaikan masalah ini. Ada pula opsi pasangan (dalam hal ini suami) untuk membuat masakannya sendiri dan mengenalkan serta mengajarkan proses membuatnya kepada pasangannya (dalam hal ini istri). Iya, kamu tidak salah dengar, suami mengajari istri.

Salah Satu Kemampuan Bertahan Hidup ialah Memasak

source: freepic

Sebenarnya saya berpegang pada prinsip jika memasak merupakan sebuah kemampuan bertahan hidup yang harus dimiliki oleh seorang manusia, baik itu lelaki atau perempuan. Jika kamu tidak sependapat, tak apa, kamu bisa tidak melanjutkan membaca blog abal ini. Setidaknya prinsip ini pula yang dipegang oleh pasangan saya selama ini.

Bagi saya (dan pasangan) bisa memasak (dan lebih luas lagi menyelesaikan masalah perut) merupakan satu kemampuan yang harus dimiliki. Suami mengerti bagaimana mempraktikkan resep jadi sebuah hidangan bukan merupakan hal tabu di mata pasangan saya, begitu pula dengan saya. Istri bisa masak bukan hal aneh, tapi jika ia tak piawai pun bukan jadi masalah asal bisa menemukan solusi. Yas, masih ada opsi pesan makanan kan.

Mengapa kedua belah pihak harus bisa mengurus permasalahan perut ini? Dalam bahasa indah: Segala tugas rumah tangga harus dikerjakan bersama, saling membantu agar tak ada yang merasa timpang. Tapi, buat saya, kemampuan ini sangat berguna saat situasi darurat yang bisa kapan saja terjadi (ingat hidup itu tak bisa diprediksi alurnya). Apabila suami hanya menggantungkan solusi makan pada istri, tiba sang istri sakit dan tak bisa memasak kan tak mungkin membiarkan perut kosong. Situasi sedang tak ada uang atau tak bisa panggil pesan antar karena sinyal serta cuaca kurang mendukung, opsi yang ada hanya memasak bahan makanan. Mau tak mau harus bisa kan.

Tapi apakah harus menunggu hingga situasi genting seperti itu datang? Kalau bagi saya sih tidak perlu menunggu. Semakin familiar dengan proses, alat, bahan yang akan dipakai, dan letak penyimpanan makan akan semakin baik. Paling tidak meminimalisir kehancuran situasi dapur saat terpaksa harus memasak.

Tak sedikit pendapat takut disemprot istri saat membantu memasak. Jika kamu bertutur lembut kepada istri saat memasak meski lemot, ia akan mikir-mikir untuk nyemprot kamu. Beda jika selama ini tak berlaku lembut ya. Tapi sepanjang yang saya dengar istri itu senang dibantu, bahkan cuma ditemani dan diawasi saja sudah senang. Jadi tak perlu takut untuk menjejakkan kaki ke dapur.

Ini mungkin pemikiran saya lahir juga karena selama hidup merantau, saya dikelilingi oleh teman lelaki yang tak sungkan untuk memasak demi mendapatkan cita rasa sesuai dengan lidahnya. Teman-teman saya tak merasa memasak merupakan hal tabu, mereka bahkan sangat membanggakan hasil karyanya yang tak kalah dari tangan perempuan.

Membuat masakan itu prosesnya panjang, berliku, tak mudah. Jika kamu tahu bagaimana sulitnya membuat sebuah hidangan, maka kamu tak akan mudah memberikan cibiran atau merendahkan jika rasa yang hadir tidak sesuai dengan lidahmu. Apalagi resep masakan Indonesia itu rempahnya banyak, prosesnya tak hanya sekali cemplung jadi. Sudah ikut resep saja bisa jadi beda hasilnya. Alih-alih memprotes akan lebih baik jika kamu bisa mengajari pasangan. Dan buat pasangan yang ingin mencoba membantu, jangan pernah ragu dan malu untuk sering bertanya ya.

Demikian sekelumit pendapat saya soal bayang-bayang memasak dalam pernikahan yang mungkin menghantui kamu juga selama ini.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You May Also Like
Read More

Kontemplasi dalam Hening

Sudah beberapa bulan ini rupanya saya tidak mengunggah tulisan di rumah ini. Tapi akhirnya rasa rindu menulis di…
Read More

idrak: Sepatah Nafas

Ada dalam satu waktu saya mempertanyakan tentang arti hidup dan tentang makna sebuah kematian. Tak jarang pula terbayang…